Beranda | Artikel
Tazhîm (Mengagungkan) Allâh Maksud dan Urgensi Mengimaninya
Selasa, 26 Maret 2019

TA’ZHIM (MENGAGUNGKAN) ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MAKSUD DAN URGENSI MENGIMANINYA

Oleh
Abu Abdillah Hamzah an-Nayili[1]

Di antara faktor terbesar yang mendukung keshalihan (baiknya) hati seseorang dan kebahagiaannya adalah pengagungannya terhadap Allâh al-Khâliq.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, tidak pula kemenangan, keshalihan ataupun kenikmatanbagi hamba, kecuali bila ia mengenal Allâh yang menciptakan mereka dan beribadah kepada-Nya; dan menjadikan Allâh semata sebagai tujuan akhir yang mereka cari dan inginkan;Juga mengingat serta bertaqarrub kepada-Nya dapat mendatangkan kesejukan serta dapat menghidupkan hati mereka. Sehingga bila mereka kehilangan hal tersebut; maka keadaan mereka akan lebih buruk daripada binatang ternak. Karena binatang ternak lebih baik hidupnya di dunia daripada mereka, dan lebih selamat kesudahannya di akhirat.”[2]

Dari sini kita bisa mengetahui, betapa perlunya kita mengenal nama-nama Allâh dan sifat-sifat-Nya. Karena kadar pengagungan hati seseorang terhadap Dzat Yang Maha Pencipta, berbanding lurus dengan kadar ma’rifatnya (pengetahuannya) tentang Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata, “Kadar pengagungan seseorang terhadap Allâh Azza wa Jalla didalam hatinya seukurandengan kadar ma’rifat (pengetahuannya tentang Allâh Azza wa Jalla). Orang yang paling mengenal Allâh adalah orang yang paling besar dan kuat pengagungannya terhadap Allâh Azza wa Jalla .”[3]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Seukuran dengan ma’rifat seorang hamba terhadap Rabbnya, maka seukuran itulah kadar keimanannya. Ketika ma’rifat (pengetahuan) seseorang tentang Rabbnya bertambah, maka bertambah pula keimanannya. Begitu pula setiap kali ma’rifatnya kurang, maka imannya berkurang pula. Dan jalan terdekat yang bisa mengantarkannya menuju hal tersebut adalah dengan mentadabburi (merenungi dan menghayati) sifat-sifat dan nama-nama-Nya dari al-Qur’an.”[4]

Terkadang kita bertanya-tanya tentang cara menggapai ma’rifat ini, dan bagaimana jalan untuk sampai ke sana?

Dalam hal ini, Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan jawabannya. Beliau berkata, “Ma’rifat mempunyai dua pintu yang begitu luas:

Pertama yaitu pintu tafakkur dan perenungan terhadap semua ayat-ayat al-Quran; dan pemahaman yang khusus tentang Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n .

Pintu kedua adalah bertafakkur tentang ayat-ayat-Nya yang bisa disaksikan (di alam ini); dan merenungkan hikmah-Nya pada hal-hal tersebut, juga merenungkan qudrah (kuasa)-Nya, kelembutan-Nya, kebaikan-Nya, keadilan-Nya dan perlakuan-Nya yang adil terhadap makhluk-Nya.

Inti semua itu adalah memahami makna nama-nama-Nya yang maha indah, keagungan, kesempurnaan nama-nama itu; Memahamikeesaan-Nya dalam itu semuaserta memahami keterkaitannya dengan penciptaan dan segala urusan.

Dengan demikian, ia menjadi orang yang mengerti dan memahamiperintah dan larangan-Nya,mengerti tentang qadha’ dan qadar-Nya, mengerti tentangasma’ (nama-nama) dan sifat-Nya, memahamihukumdini syar’i (hukum Allâh Azza wa Jalla yang harus diamalkan oleh para hamba) dan hukum kauni qadari (taqdir kauni; semua yang Allâh Azza wa Jalla takdirkan dan pasti terjadi dan tidak itu mesti dicintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala). Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

Dan itu adalah anugerah Allâh; yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allâh lah Yang mempunyai anugerah yang agung [Al-Hadîd/57:21]”[5]

Oleh karena itu, sesuai kiranya bila kali ini kita mengupas dan mengkaji tentang salah satu nama Allâh Azza wa Jalla. Kita pahami dan tadabburi sebagian maknanya lalu kita resapi sebagian sebagian manfaatmengimaninama tersebut. Nama yang dimaksudkan di sini adalah nama Allâh Azza wa Jalla al-Azhîm.

Ayat-ayat al-Quran telah menetapkan nama yang mulia ini. Bagi yang memperhatikannya, ia akan dapati bahwa nama ini sesekali disebutkan secara sendirian, tidak diiringi dengan yang lain, seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ

Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Maha Besar. [Al-Wâqi’ah/56:74]

Juga firman-Nya:

إِنَّهُ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ

Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allâh yang Maha besar (agung) [Al-Hâqqah/69:33]

Terkadang nama ini juga disebutkan secara bergandengan dengan nama-Nya yang lain,seperti bergandengan dengan nama-Nya al-Aliyy; sebagaimanadalam firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Dan Allâh tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allâh Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Al-Baqarah/ 2: 255]

Juga firman-Nya:

لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Kepunyaan-Nya-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. [As-Syûrâ/42:4]

Berkenaan dengan sebagian rahasia di balik penggandengan dua nama Allâh yang mulia ini, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengulasnya. Beliau berkata, “Allâh l telah mensyariatkan terhadap para hamba-Nya untuk menyebut dua nama Allâh yang mulia ini; yaitu al-Aliyy dan al-Azhîm dalam ruku’ dan sujud. Sebagaimana hal itu telah datang dalam hadits shahih. Disebutkan bahwa tatkala ayat ke-74 dari surat al-Wâqi’ah ini diturunkan:

فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ

Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Maha Besar. [Al-Wâqi’ah/56:74]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اجْعَلُوْهَا فِي رُكُوْعِكُمْ

Jadikanlah ia dalam ruku’ kalian.

Lalu tatkala turun ayat:

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, [Al-A’lâ/87: 1]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اجْعَلُوْهَا فِي سُجُوْدِكُمْ

Jadikanlah ia dalam sujud kalian.[6]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam menyifati Diri-Nya seringkali menggandengkan dua nama ini, seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Dan Allâh Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Al-Baqarah/ 2: 255]

Juga firman-Nya Azza wa Jalla:

وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Saba’/34:23]

Juga firman-Nya:

عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ

Yang mengetahui semua yang ghaib dan yang nampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi. [Ar-Ra’d/ 13: 9].

Dengan itu, bisa ditetapkan adanya sifat ‘uluw bagi Allâh Azza wa Jalla dan juga sifat ‘azhamah (kebesaran Allâh Azza wa Jalla ). Al-Uluw maknanya Allâh Azza wa Jalla maha tinggi di atas mahkluk-Nya; sedangkan ‘azhamah bermakna Allâh Azza wa Jalla itu agung, baik secara Dzat maupun sifat-Nya.”

Dan di antara rahasia lain dari penggandengan dua nama ini adalah seperti yang juga dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, “Allâh menggandengkan dua nama-Nya yang mulia ini, yang menunjukkan ketinggian Allâh dan keagungan-Nya di akhir ayat Kursi, Surat asy-Syûrâ, Surat ar-Ra’d, dan Surat Saba’. Dalam Surat Saba’, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ ۖ قَالُوا الْحَقَّ ۖ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

Mereka berkata, “Apakah yang telah difirmankan oleh Rabb-mu?” Mereka menjawab,`(Perkataan) yang benar”, dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. [Saba’/ 34: 23]

Dalam ayat Kursi, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan sifat al-hayât (sifat hidup) yang merupakan asal dari semua sifat.Dan disebutkan pula sifat-Nya al-Qayyum (Yang Berdiri sendiri dan mengatur semua urusan makhluk)yaitu sifat yang menunjukkan berdirinya Dzat-Nya secara sendiri, kelanggengan-Nya, dan bersihdari segala sifat kurang dan cacat, seperti tidur, mengantuk, ketidakmampuan dan sifat kuranglainnya. Kemudian Allâh Azza wa Jalla menyebutkan kesempurnaan kuasa kerajaan-Nya. Setelah itu dilanjutkan dengan menyebutkan keesaan-Nya dalam kekuasaan,dimanatidak ada seorang pun yang bisa memberi syafa’at di sisi-Nya  kecuali dengan izin-Nya.

Lalu Dia menyebutkan keluasan ilmu dan jangkauan-Nya yang dilanjutkandengan menyebutkan bahwa tidak ada jalan bagi makhluk untuk mengetahui sesuatu apapun kecuali setelah Allâh Azza wa Jalla menghendaki mereka untuk mengetahuinya.

Setelah itu, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan betapa luas Kursi-Nya[7] sambilmengingatkan kepada makhluk-Nya akan keluasan, keagungan dan ketinggian Allâh Azza wa Jalla . Ini semua adalah sebagai pendahuluan sebelum menyebut sifat uluw dan ‘azhamah-Nya. Kemudian Dia k mengabarkan tentang kesempurnaan kuasa-Nya dan penjagaannya terhadap alam semesta, baik alam langit maupun bumi, tanpa tersentuh rasa payah dan lelah. Kemudian Allâh Azza wa Jalla memungkasi ayat Kursi dengan dua nama-Nya yang mulia yang menunjukkan tingginya Dzat Allâh dan keagungan Diri-Nya.”[8]

Dalam hadits juga disebutkan nama Allah Azza wa Jalla al-‘azhîm. Di antaranya dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اَللِّسَانِ,ثَقِيلَتَانِ فِي اَلْمِيزَانِ , حَبِيبَتَانِ إِلَى اَلرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اَللَّهِ وَبِحَمْدِهِ , سُبْحَانَ اَللَّهِ اَلْعَظِيمِ

Ada dua kalimat yang ringan diucapkan lisan, berat dalam timbangan, dan  dicintai Allâh ar-Rahman (yaitu)Subhânallâh wa bihamdihi Subhânallâhil azhîm (Maha Suci Allâh seraya memanjatkan pujian kepada-Nya; Maha suci Allâh Yang Maha agung).[9]

Juga hadits dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila masuk masjid, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan:

أَعُوذُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيم

Aku berlindung kepada Allâh Yang Maha agung, dan dengan wajah-Nya yang mulia, serta kekuasaan-Nya yang telah lama (azali), dari syetan yang terkutuk.[10]

Juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan umat agar mereka mensucikan Allâh dengan nama ini di dalam ruku’; Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلّ

Adapun dalam ruku’, maka agungkanlah Rabb Azza wa Jalla di dalamnya.[11]

Nama ini juga disebutkan dalam sunnah dengan digandengkan dengan nama-Nya al-Halîm (Yang Maha Santun), sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa saat kesusahan, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، رَبُّ السَّموَاتِ، وَرَبُّ الأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

Tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allâh, Yang Maha Agung lagi Maha Santun; tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allâh Rabb Pemilik Arsy yang agung; tidak ada sesembahan yang hak selain Allâh Rabb Pemilik langit, Pemilik bumi dan Pemilik arsy yang mulia.[12]

Alasan digandengankannya dua nama ini sudah jelas, yaitu meskipun Allâh Maha Agung, Maha berkuasa untuk memaksa; Maha Besar lagi Maha berkuasa di atas semua para hamba-Nya, namun Dia Maha Besar lagi Maha Penyayang lagi Pengasih terhadap para hamba-Nya. Dan menggabungkan antara dua nama mulia ini menunjukkan sifat kesempurnaan dan keindahan.

Keagungan Allâh dan Kekuasaan-Nya terhadap para makhluk-Nya tidak menghalangi-Nya untuk berbuat santun lembut dan memberi maaf kepada mereka. Dan sifat santun lembut Allâh l ini bukan karena lemah atau tidakberdaya, namun sifat santun lembut karena keagungan, kekuatan dan keperkasaan-Nya.[13]

Mengenai makna nama Allâh yang mulia ini, kita dapati tidak hanya seorang Ulama saja yang mengupasnya. Misalnya saja Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan nama-Nya yang agung (al-Azhîm) di beberapa tempat dalam kitab-kitab beliau. Beliau rahimahullah berkata, “Al-Azhîm adalah Dia yang menyandang banyak sifat dari sifat-sifat kesempurnaan.”[14]

Dalam Qashidah Nûniyyahnya, beliau rahimahullah berkata:

وَهُوَ الْعَظِيم بِكُلِّ مَعْنًى يُوجِبُ التَّــ           ـــــعْظِيمَ لَا يُحْصِيْهِ مِنْ إِنْسَانٍ

Dia adalah Al-Azhim (Yang Maha agung) dengan segala maknanya; yang mengharuskan (hamba) untuk mengagungkan-Nya, tak ada satu manusiapun yang bisa mendetailnya [15]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Al-Azhîm adalah nama yang terhimpun pada-Nya semua sifat keagungan, kebesaran, kemuliaan, kemegahan, yang kecintaan kepada-Nya terpatri dalam hati, yang diagungkan ruh, di mana orang-orang arif (yang ma’rifat kepada-Nya) mengetahui bahwa kebesaran apapun, yang semegah apapun sifatnya, namun kebesaran tersebut sirna dibandingkan dengan kebesaran Allâh Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.”[16]

Dia Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha agung dalam segalanya, dalam Dzat-Nya, juga dalam asma’ dan sifat-Nya. Syaikh as-Sa’di berkata, “Tidak ada siapapun yang bisa mendetail pujian kepada-Nya, namun Dia l adalah sebagaimana yang Dia pujikan sendiri atas Diri-Nya, melampaui apa yang disanjungkan semua hamba kepada-Nya.”[17]

Setelah kita mengetahui bahwa berbagai nash dari al-Kitab dan as-Sunnah telah menunjukkan nama-Nya yang mulia ini, dan telah kita renungi sebagian dari maknanya yang mulia, maka kitapun bertanya-tanya, apa kewajiban kita terhadap nama Allâh al-Azhîm?

Pembahasan ini akan kita lanjutkan pada pembahasan berikutnya, insya Allah Azza wa Jalla.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XXI/1439H/2018M.  Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_________
Footnote
[1] Dari kitab Tanbîhul Ummah ‘ala Masâ-ila wa Ahkâm Syar’iyah Muhimmah, 1/36-41
[2] Ash-Shawâ’iq al-Mursalah,1/ 366.
[3] Madârij as-Sâlikîn, 2/ 495.
[4] Tafsir As-Sa’di, 1/ 24.
[5] Al-Fawa-id, hlm. 170
[6] HR. Abu Daud, no. 869 dan Ibnu Majah, no. 887 dari hadits Uqbah bin Amir al-Juhani Radhiyallahu anhu . Hadits ini dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani rahimahullah
[7] Tempat dua kaki ar-Rahman, dan tak ada yang tahu sifatnya kecuali Allâh; demikian yang diungkapkan Ibnu Abbas-red
[8] Ash-Shawâ’iq al-Mursalah 4/ 1371.
[9] HR. Al-Bukhâri, no. 6043; Muslim,no. 2694 dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[10] HR. Abu Daud, no. 466 dari jalur Uqbah bin Muslim dari Abdullah bin Amr. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani.
[11] HR. Muslim, no. 479 dari hadits Ibnu Abbas c
[12] HR. al-Bukhâri 6345, Muslim 2730 dari hadits Ibnu Abbas.
[13] Kitab wa Lillah al-Asma’ul Husna karya Abdul Aziz al-Jalil hlm. 244.
[14] Bada’I al-Fawa’id1/ 145.
[15] Al-Kâfiyah asy- Syâfiyah bait 3222.
[16] Al-Haqq al-Wâdhih al-Mubîn hlm. 27.
[17] Tafsir As-Sa’di hlm. 259.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/11364-tazhim-mengagungkan-allah-subhanahu-wa-taala-maksud-dan-urgensi-mengimaninya.html